Kasus Longsor Terkini: Evaluasi Kebijakan Tata Ruang di Daerah Perbukitan

Indonesia menghadapi tantangan berulang dalam mengelola daerah perbukitan yang rentan terhadap bencana geologi. Serangkaian Kasus Longsor Terkini yang melanda berbagai wilayah, seperti insiden di Purbalingga dan Bengkulu Utara pada 13 September 2025, telah kembali memicu perdebatan serius mengenai efektivitas dan implementasi kebijakan tata ruang di daerah rawan. Kejadian longsor tersebut, yang dipicu oleh curah hujan ekstrem, menyebabkan terputusnya 2 ruas jalan utama dan merusak 12 hektar lahan pertanian, meskipun beruntungnya tidak menimbulkan korban jiwa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa faktor pemicu geologis sering kali diperparah oleh kebijakan pembangunan yang kurang berkelanjutan.

Pakar geografi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Bima Wijaya, menyoroti bahwa salah satu akar masalah utama adalah ketidaksesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan kondisi geologi sesungguhnya di lapangan. Banyak daerah perbukitan yang seharusnya ditetapkan sebagai zona konservasi atau pertanian terbatas, justru mengalami konversi lahan yang masif untuk permukiman, perkebunan monokultur, atau bahkan pembangunan fasilitas wisata. Konversi lahan ini menghilangkan vegetasi alami yang berfungsi sebagai penahan air dan pengikat tanah, secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya Kasus Longsor Terkini saat musim hujan tiba.

Evaluasi kebijakan tata ruang harus melibatkan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran zona peruntukan. Di tingkat daerah, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dipimpin oleh Kepala Satpol PP Kabupaten Purbalingga, Bapak Agus Santoso, telah membentuk tim khusus pada 1 Oktober 2025, untuk mengaudit 50 izin mendirikan bangunan (IMB) di kawasan perbukitan yang terindikasi melanggar batas kemiringan lereng yang diizinkan, yaitu di atas 45 derajat. Upaya ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam mengoreksi kesalahan masa lalu, namun implementasinya membutuhkan dukungan politik yang kuat.

Selain penegakan hukum, solusi jangka panjang memerlukan intervensi teknis yang terencana. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah meluncurkan program reboisasi dengan tanaman keras berakar dalam di 30 desa rawan longsor, melibatkan 500 anggota masyarakat setempat dalam program padat karya. Program ini tidak hanya memulihkan fungsi konservasi lahan, tetapi juga memberikan edukasi langsung kepada masyarakat mengenai praktik bercocok tanam yang aman di lereng. Pendekatan holistik ini menjadi penting karena Kasus Longsor Terkini seringkali juga dipicu oleh faktor sosial-ekonomi yang mendasari keputusan masyarakat untuk tinggal dan bertani di daerah berbahaya. Dengan menggabungkan pembaruan regulasi, penegakan hukum yang kuat, dan solusi berbasis ekologi, Indonesia dapat secara bertahap mengurangi risiko bencana longsor dan melindungi masyarakat di daerah perbukitan.

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org

toto togel

bento4d